Rabu, 22 April 2009

CARAKU MENCINTAIMU

Aku mencintaimu….
Sungguh! Aku mencintaimu bukan karena keindahan tampilan fisikmu. Aku mencintaimu bukan karena keluasan wawasanmu. Aku mencintaimu bukan karena harta milikmu. Aku mencintaimu karena dirimu, hanya dirimu. Inilah caraku mencintaimu…

Aku mencintaimu…
Sungguh! Aku tidak ingin merubahmu. Aku tidak ingin membatasi ruang gerakmu. Aku tidak ingin menyuruhmu ini dan itu. Karena aku tahu kau tak kan suka. Aku hanya ingin kau dapat menjadi dirimu. Inilah caraku mencintaimu...

Aku mencintaimu….
Sungguh! Aku tak ingin jadi pelita yang menerangi gulita kalbumu, tapi membuatmu tak berarah kala aku redup. Aku tak ingin menjadi anak tangga yang menyanggamu saat kau ingin berdiri yang lebih tinggi, tapi mematahkan mimpimu kala aku rapuh. Aku tak ingin menjadi semilir angin yang mengantar bidukmu arungi samudra, tapi menghempasmu kala karang menerjang. Aku cuma ingin menjelma jadi setitik pemicu dalam aliran darahmu, bersemayam di relung alam bawah yang menopang untuk maju merengkuh saujana. Terus… meski Aku tiada… Inilah caraku mencintaimu...

Aku mencintaimu….
Sungguh! Namun, Aku tak bisa menjamin, tidak ada perdebatan dan pertengkaran antara kita. Aku tidak bisa menjamin, kau akan bahagia bersamaku.. Aku tak bisa menjamin, perasaanku padamu tak akan berubah. Aku hanya bisa berjanji, aku untuk tumbuh bersamamu. Inilah caraku mencintaimu...



Aku mencintaimu…
Sungguh! Namun jangan pernah memintaku untuk membelah dadaku untuk menujukkan betapa aku mencintaimu. Jangan pernah memintaku untuk mengatakannya. Jangan pernah memintaku untuk bersumpah. Karena aku tidak pandai berkata. Bagiku, kata-kata tak kan mampu mengungkap sejuta makna hatiku. Inilah caraku mencintaimu...

Aku mencintaimu…
Sungguh! Aku tidak berharap kau membalas cintaku. Aku tidak berharap kau mengerti perasaanku. Aku bahkan tidak berharap kau memahamiku. Karena cinta itu perkara memberi, dan aku memang hanya memberi. Inilah caraku mencintaimu…

Aku mencintaimu…
Sungguh! Jangan pernah jadikan cintaku menjadi bebanmu. Jangan pernah berusaha untuk membalasnya jika kau tidak bisa. Jangan pernah memaksa dirimu untuk mengasihaniku. Karena itu akan menyakitiku. Aku hanya mohon padamu, biarkan aku menyimpan rasaku. Inilah caraku mencintaimu…

Aku mencintaimu…
Sungguh! Jangan jadikan cintaku alasan untuk melenakan dirimu. Jangan jadikan cintaku alasan untuk melalaikan amanat Tuhanmu. Jangan jadikan cintaku alasan untuk membutakanmu. Jangan… karena Aku tak sanggup membiarkanmu terluka karena cintaku. Inilah caraku mencintaimu…

Aku mencintaimu…
Sungguh! Izinkan aku mencintaimu dengan sederhana. Karena… Inilah caraku mencintaimu…

Readmore »»

Rabu, 08 April 2009

Menulis dan Mengarang (Dimana letak bedanya?)

Gendisa wrote (facebook mode on, hehe...) :

Suatu hari saya pernah bermimpi untuk jadi seorang penulis, pengarang lebih tepatnya. Apa memang sih perbedaan antara dua istilah itu? Menurut sumber yang pernah saya baca, istilah itu mempunyai makna serupa tapi tak sama.

Penulis, adalah seorang pekerja, profesi yang kerjaannya menulis. (anak TK jg tau!hehe,maaf..) Ets, tapi penulis memang hanya menulis saja lho, mereka tidak mengarang. Jadi mereka bisa saja hanya menulis kembali apa yang telah mereka lihat, apa yang mereka baca atau dengar dari orang lain. Seperti menelaah sesuatu lalu mereka tuliskan lagi sesuai bahasa dan pemikiran mereka. Jadi kalau menurut saya, untuk contoh seorang penulis, menulis skripsi bisa dikategorikan ke dalam pekerjaan seorang penulis. Mengapa? Karena seorang mahasiswa yang mengerjakan skripsi, mereka tidak menuangkan ide dan pemikiran mereka sendiri secara keseluruhan pada saat mereka akan membuat skripsi. Tapi mereka mencari suatu topik permasalahan yang nantinya mereka kembangkan dengan segala metode penelitian dalam bentuk tulisan, yakni skripsi tersebut.

Pengarang memiliki artian sama dengan penulis dalam hal "menulisnya" itu sendiri. Pengarang juga menulis tapi mereka melakukannya sambil berimajinasi. Menemukan sesuatu dari dalam hati dan pikiran mereka sendiri. Mencari-cari kisah atau cerita yang bisa dijadikan sesuatu tulisan dan itu murni ide dan pemikiran pribadi. Lalu mereka akan menuliskannya sebagai suatu bentuk karya orisinil dan baru pertama kali ada.

Makanya, ketika di bangku sekolah, saat pelajaran Bahasa Indonesia, tidak ada kan yang namanya Ibu/Bapak Guru menyuruh kita; "Ayo anak-anak, sekarang kita akan menulis bebas!" Seringnya adalah Mengarang Bebas. Karena di situlah letak perbedaannya. Mengarang membutuhkan lebih dari sekedar pengalaman, sumber bacaan dan pengamatan. Mengarang juga membutuhkan ide orisinil seorang penulis. Begitulah. Nah, barusan saya menjadi seorang penulis, karena saya hanya berusaha menginterpretasikan dan menuliskan pendapat saya atas bacaan yang saya dapat tempo hari. Bukan untuk pertama kalinya pendapat itu saya buat dan pemikiran tentang penulis dan pengarang itu bukan milik saya.



Sekarang, saya mau mengarang. Menyambung kalimat di paragraf awal tadi. Saya mau bercerita tentang keinginan saya menjadi seorang pengarang yang melebihi keinginan menjadi seorang penulis. Dari sejak saya bersekolah di bangku sekolah dasar, nilai di rapor tertinggi selalu saya dapatkan di pelajaran Bahasa Indonesia. (maaf klo ada kesan pamer...haaha.. ) Lalu,singkat cerita, berpuluh-puluh tahun kemudian saya bertemu dengan seorang pria, yang akhirnya jadi partner in crime saya dalam pembuatan blog ini... Namanya H.Prasetyo. Bukan, bukan, H-nya bukan Haji, tapi Heri. Saya hanya ingin menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada sahabat sejati saya, Heri Prasetyo itu, untuk dorongan, keinginan dan cita-citanya membuat blog ini. Andaikan dia tidak mengajak saya, mungkin sampai detik tulisan sekaligus karangan ini muncul, saya sendiri belum punya blog. Dan hingga detik ini pula mungkin saya tidak bisa menyalurkan keinginan saya untuk jadi pengarang dan pengusaha
(karena saya juga memasarkan barang dagangan saya di sini, hehe...)

Jadi, walaupun blog ini terkadang masih menyadur dan meminjam karangan orang-orang lain yang indah dan inspiratif, tapi H.Prasetyo dan saya akan terus berusaha mengarang, terus berusaha membagi inspirasi yang banyak sekali beterbangan di dunia ini. Sekali lagi, doakan kami yaa....
terima kasih...

09-04-09 (6 jam jelang pemilu legislatif Indonesia thn 09)
-Gendisa

Readmore »»

Senin, 30 Maret 2009

Sebuah Renungan Perpisahan

Perpisahan, sebagaimana kematian, adalah hal yang paling dihindari manusia. Padahal sama seperti pertemuan dan kelahiran, kedua sisi itu melengkapi bagai dua muka dalam satu koin. Hadir sepaket tanpa bisa dipisah. Seberapa lama jatah kita hidup, kita tidak pernah tahu. Yang jelas, kita selalu berjuang setengah mati untuk bisa menerima mati.

Perpisahan tak terkecuali. Kita pasti akan berjuang habis-habisan untuk bertahan terlebih dahulu. Namun, sekeras-kerasnya kita menolak kematian dan perpisahan, setiap makhluk bisa merasakan jika ajal siap menjemput, jika ucapan selamat tinggal siap terlontar. Dan pada titik itu, segala perjuangan berhenti.

Dalam semua hubungan, kita bisa saja menemukan 1001 alasan yang kita anggap sebab sebuah perpisahan. Namun saya percaya, penyebab yang paling mendasar selalu sederhana dan alami: memang sudah waktunya. Hidup punya masa kadaluarsa, hubungan pun sama. Jika tidak, semua orang tidak akan pernah mati dan semua orang tidak pernah ganti pacar dari pacar pertamanya. Kita bisa bilang, putusnya hubungan A karena dia selingkuh, karena bosan, karena ketemu orang lain yang lebih menarik, karena status sosial, belum jodoh, dan masih banyak lagi. Padahal intinya satu, jika memang sudah waktunya, perpisahan akan menjemput secara alamiah bagaikan ajal. Bungkus dan caranya bermacam-macam, tapi kekuatan yang menggerakkannya satu dan serupa. Tentu dalam prosesnya kita berontak, protes, menyalahkan ini-itu, dan seterusnya. Namun hanya dengan terus berproses dalam aliran kehidupan, kita baru menyadari hikmah di baliknya.




Jadi, semua faktor yang selama ini diabsahkan orang-orang sebagai penyebab perpisahan (orang ketiga, KDRT, tidak dinafkahi, dan lain-lain) menurut saya sebenarnya adalah gejala yang terlihat, bukan penyebab. Sama halnya batuk sebagai gejala penyakit flu. Batuk bukan penyebab, tapi gejala penyakit yang terlihat. Kita sendiri tidak bisa melihat virusnya, cuma merasakan akibatnya, yakni batuk atau beringus. Tapi seringkali kita tertukar memilah mana efek dan mana sebab, hanya karena efek yang terlihat lebih mudah dijelaskan. Alasan sesederhana “memang sudah waktunya” dirasa abstrak, teoritis, filosofis, dan mengada-ada.

Maret 2009 adalah momen penyadaran saya akan kelanjutan hubungan ini. Saat saya merasa bahwa hubungan ini sudah kadaluarsa. Susah sekali kalau disuruh menjelaskan: kok bisa tahu? Tapi kami sama-sama merasakan hal yang sama. Dan pada saat itulah saya memutuskan untuk belajar berpisah, saling melepaskan. Jadi, masalah intinya bukan memaafkan dan memaklumi efek apa yang terlihat, tapi menerima bahwa inilah adanya. Hubungan yang kadaluarsa. Perkembangan yang akhirnya membawa hubungan ke titik perpisahan. Dan, untuk sampai pada penerimaan ini, sulit, saya menjalani dengan berbagai macam cara, hingga akhirnya saya bisa melepaskan dengan lapang dada, dengan baik-baik, dengan pengertian, dengan kesadaran.

Memaafkan bagi saya adalah menerima. Menerima kondisi yang terjadi apa adanya. Segala penyebab mengapa sebuah kondisi tercipta, barangkali kita cuma bisa tahu sekian persennya aja. Tidak mungkin diketahui semua. Apalagi dimengerti. Sama halnya saya tidak tahu persis kenapa dulu bisa bertemu dengan dia, menjalin sebuah hubungan, dan seterusnya. Fate, atau destiny, menjadi cara manusia menjelaskan apa yang tidak bisa dijelaskan. Perpisahan pun sama hukumnya. Meski sepertinya keputusan berpisah ada “di tangan kita”, tapi ada sesuatu kekuatan yang tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan.
Lantas, bagaimana dengan perasaan ini kepadanya? Apakah kesedihan dan kebahagiaannya juga tidak saya perhitungkan? Analogi yang barangkali bisa membantu menggambarkan ini adalah petunjuk emergensi di pesawat. Dulu, saya sering bingung, kenapa orang tua disuruh memakai masker oksigen duluan sebelum anaknya. Sekarang saya mengerti, dan setidaknya ini adalah kebenaran bagi saya: kita tidak bisa membahagiakan orang lain sebelum kita sendiri bahagia. Satu buku yang sangat terkenal, “Celestine’s Prophecy”, juga bicara soal ini. Kita harus “penuh” dulu sebelum bisa “memenuhi” orang lain. Cinta bukanlah dependensi, melainkan keutuhan yang dibagi.

Kita berbuat sesuatu karena itulah yang kita anggap benar bagi diri kita sendiri. Dan kebenaran ini sangatlah relatif. Jika ada 6,5 miliar manusia di dunia, maka ada 6,5 miliar kebenaran dan ukuran kebahagiaan. Norma berubah, agama berubah, sains berubah, segalanya berubah dan tidak pernah sama. Kebahagiaan pun sesuatu yang hidup, berubah, dan tidak statis.

Membahagiakan pasangan saya, juga menjadi keinginan saya. Tapi saya pun tidak bisa selamanya mencegah dia dari ketidakbahagiaan. Karena apa? Seseorang berbahagia karena dirinya sendiri. Kebahagiaan bukan mekanisme eksternal, tapi internal. Ilustrasinya begini, dua orang sama-sama dikasih apel, yang satu bahagia karena memang suka apel, yang lain kecewa karena sukanya durian. Berarti bukan apelnya yang bisa bikin bahagia, tapi reaksi hati seseoranglah yang menentukan. Yang tidak suka apel baru bisa bahagia kalau akhirnya dia bisa menerima bahwa yang diberikan kepadanya adalah apel dan bukan durian—sebagaimana yang dia inginkan. Alias menerima kenyataan. Saya tidak bisa membuat siapa pun berbahagia, sekalipun saya ingin berpikir demikian. Kenyatannya, hanya dirinya sendirilah yang bisa. Saya hanya bisa menolong dan memberikan apa yang orang tersebut butuhkan, SEJAUH yang saya bisa. Namun saya tidak memegang kendali apa pun atas kebahagiaannya.

Lalu, hendak ke mana setelah ini? Saya tidak tahu. Apakah akan ada penyesalan? Saya tidak tahu. Apa pun yang menanti saya sesudah ini, itulah konsekuensi, tanggung jawab, dan karma saya. Pahit atau manis. Tak seorang pun yang tahu. Namun inilah pelajaran hidup yang menjadi jatah saya, dan saya menerimanya dengan senang hati. Saya tidak berdagang dengan Tuhan. Setiap detik dalam hidup adalah hadiah. Setiap momen adalah perkembangan baru. Bagi saya, itu sudah cukup. Bagi saya, itulah bentuk kesadaran.

Abstrak? Filosofis? Teoritis? Utopis? Saya sangat mengerti mengapa label-label itu muncul. Kebenaran kadang memang sukar dipahami. Hanya bisa dirasakan. Sama gagapnya kita berusaha mendefinisikan Cinta. Pada akhirnya, kita cuma bisa merasakan akibatnya.


Heri...

Readmore »»

Rabu, 11 Maret 2009

Kenangan Terindah- for my 2nd heart...

You’re a walk to remember
You’re always in my heart as a nicest person ever…
You never hurt me…
I know you in a unique and good way,
then I want to go as the same as our first met…
gently and warm…
Seriously, you’re a big different, from my suck love life before…
You’re a greatest change ever for me,
frankly say…
I realize that; deeply say it from my heart…
Last and not least, if you want to hate me, go on… But please don’t erase me from your life…
Still want to be a part of your heart…

Biasanya awal adalah segalanya, but the end is important either. Rasakanlah, saat berada di akhir, sederet kenangan akan menyerbu pikiran dan hati… Benar, itu yang aku rasa, pikir, dan tentu kenang. Lalu semua kenangan bagai ingin kutarik dan kususun kembali agar aku tahu apa yang telah lalu dan kuperbuat. Tapi entah lari kemana semua itu, mungkin pergi ke khayangan waktu yang jauh telah lalu. Bagai ingin terus kuingat, aku terus memburu kenangan , sedetik kemudian aku pun jadi diam. Ah, cepatnya… Padahal hitungannya belum ada berlembar-lembar… Bagai masih ada di belakangku, tepat, tapi begitu sulit untuk dirangkai, begitu payah untuk disusun runut… Ah , helaan napasku belum banyak membantu memanggil kembali semua kenangan itu.
Tinggalah oh kalian semua kenangan, dalam damai pikiran serta hatiku…



Pastikan kamu akan baik-baik saja ya, tolong… Memang mudah untuk meminta itu padahal itu berat bagimu… Percayalah, untukku juga… Tapi hanya itu yang bisa membuatku tenang di sini, karena aku sudah cukup merana setelah kamu pergi... Ya ok,kamu juga, kita merana dan sedih… Tapi mungkin ini titik balik yang baik yang Tuhan beri, sampai nanti kita akan kembali berdua meniti pelangi… Suatu hari… Percayalah…

-gendis, 110309;21:30
dans ma chambre...

Readmore »»

Kamis, 08 Januari 2009

NEW PRODUCTS




Halllooo smuanyaaa....
We are now selling the new products...!

* Aksesoris batu dan mutiara (SOLD- coming up new editions also others accessories)

* Soft Lens temporer


Check it out more by clicking "READ MORE"













CONTACT LENS OK, Harga Reasonable!!!

Frescon y-Factor 6 bln 120 rb/psg buy 2 free 1

Acuvue 1 bln 180 rb/psg

FreshLook 1 bln 190 rb/psg

X2 3 bln 135-160 rb/psg

A+ n-Omega 6 bln 230 rb/psg buy 1 free 1*, dpt 2!

* tidak berlaku kelipatan
** utk semua merk terdapat warna hijau, biru, coklat, abu2. Warna lain tergantung stok

You can ask for these things by sms to 021 9857 2362...
Can't wait for your demands... thanks...

Readmore »»

MAAF YANG TAK PERNAH TERMAAFKAN

“Kamu memang nggak pantas jadi ayahnya Razi, kamu ada atau nggak ada… sama saja!”

Kata-kata pamungkas itulah yang aku ucapkan ketika Eky (suamiku) lagi-lagi berbuat kesalahan yang sama. Entahlah kali itu aku benar-benar sudah jenuh dengan kesalahannya yang itu-itu saja. Dan seperti biasa, Eky pun pergi meninggalkan kami dan aku tak peduli.

Satu minggu... dua minggu... tiga minggu berlalu, tak juga kudengar kabar darinya. Hatiku gelisah, perasaanku gundah. Ini tidak seperti biasanya. Ini bukan kebiasaan Eky.

Penantianku pun mendapat jawaban. Orang tuaku memanggilku dan mengatakan bahwa mereka telah melakukan rapat dengan orangtua Eky, dan keputusannya adalah: kami harus berpisah.

Saat itu aku hanya bisa diam, diam, dan akhirnya menangis. Meskipun rumah tangga kami sering diwarnai dengan pertengkaran, tapi aku tidak mau berpisah dengan Eky. Paling tidak untuk saat itu.

Ketika ibuku menanyakan: mengapa? Aku cuma bisa menjawab: aku mau tunggu sampai Eky mati! Entah mengapa kata itu yang keluar dari mulutku. Aku tidak bisa berpikir jernih, aku cuma mau mereka tahu bahwa cinta kami cukup kuat dan mampu menghalau rintangan yang ada.

Dua bulan setelah kejadian itu, aku mulai merasakan hal yang tidak biasa. Eky selalu hadir dalam mimpiku. Razi, yang saat itu baru berumur belum genap 2 tahun, mulai sering menanyakan ayahnya, padahal biasanya Razi tak pernah bertanya-tanya tentang Eky. Mungkin juga karena sekarang Razi mulai senang berceloteh, pikirku saat itu.


Mimpi-mimpi aneh tentang Eky terus menghampiriku. Tak hanya itu, aku pun mulai mengalami insomnia. Aku tak bisa memejamkan mata karena takut tidak dapat mendengar jika tiba-tiba Eky datang atau menelepon kami. Merasa mulai tidak nyaman dengan keadaan itu, aku lantas memberanikan diri mencari kabar Eky dengan bertanya kepada keluarganya, tapi hasilnya nihil. Mereka hanya mengatakan bahwa Eky ada di suatu tempat, mereka pun mengatakan bahwa Eky tidak akan kembali lagi ke Jakarta dan sudah merestui jika aku mau menggugat cerai dirinya. Aku sedih, aku kecewa dan murka. Aku marah pada keluarganya karena mereka tidak memikirkan perasaanku, atau paling tidak perasaan Razi. Kok, tega-teganya mereka berkata demikian.

Setelah bertukar pikiran dengan sahabatku, aku akhirnya memutuskan untk menyewa jasa pengacara demi mengurus perceraian kami. Aku mantap untuk meninggalkan Eky. Namun, meski sepertinya aku siap untuk berpisah dengan Eky, tak bisa kupungkiri bahwa aku masih mencintainya. Sangat.

Entah mengapa menjelang pembuatan draft gugatanku, aku merasakan seluruh sendi-sendi dalam tubuhku lemas sekali. Pikiranku kosong. Aku gamang menjalani keputusan ini. Dan, yang paling aneh, aku merasakan kangen yang teramat sangat pada Eky. Tapi tak ada yang bisa kulakukan selain menikmati kerinduan ini sendiri. Harus kuakui, aku kalah. Tak berdaya dengan keadaan dan tak mampu menolak kata “pisah”.

Malam itu, aku bertahajud dan memasrahkan apa yang akan terjadi pada Sang Khalik. Doaku malam itu: “Ya Allah, jika memang perpisahan adalah jalan yang terbaik bagi rumah tangga kami, aku mohon dimudahkan dan dilancarkan, tapi ya Rabb, sungguh aku takut akan perpisahan.”

Pagi itu, seperti biasa aku berangkat ke kantor, tapi kali ini rasanya tanpa nyawa. Langkahku gontai, mungkin karena sore nanti aku akan bertemu dengan pengacaraku.

Menjelang istirahat makan siang, satu pesan singkat masuk ke hp-ku. Kulihat segera. Dari Riris, adik iparku. Pesannya singkat: Nik, tolong hubungi aku segera, penting! Eky sudah nggak ada, Nik. Sudah pergi meninggalkan kita pagi tadi.

Lagi-lagi, aku hanya bisa diam, menangis, kemudian pingsan.

Mungkin inilah jawaban dari doaku malam tadi, mungkin juga inilah arti mimpi aneh tentangnya. “Jaga Razi ya,” ucap Eky dalam mimpiku semalam.

I miss him and only God knows how much.

Lagu “Lirih” yang dinyanyikan almarhum Chrisye benar-benar bisa menggambarkan apa yang yang kurasakan.

Kutahu semua tak mungkin kembali,
Kau telah pergi
Adakah kau mengerti, kasih
Rindu hati ini ingin memiliki lagi
Mungkinkah kau percaya, kasih?
Bahwa diri ini ingin memiliki lagi


Readmore »»