Senin, 30 Maret 2009

Sebuah Renungan Perpisahan

Perpisahan, sebagaimana kematian, adalah hal yang paling dihindari manusia. Padahal sama seperti pertemuan dan kelahiran, kedua sisi itu melengkapi bagai dua muka dalam satu koin. Hadir sepaket tanpa bisa dipisah. Seberapa lama jatah kita hidup, kita tidak pernah tahu. Yang jelas, kita selalu berjuang setengah mati untuk bisa menerima mati.

Perpisahan tak terkecuali. Kita pasti akan berjuang habis-habisan untuk bertahan terlebih dahulu. Namun, sekeras-kerasnya kita menolak kematian dan perpisahan, setiap makhluk bisa merasakan jika ajal siap menjemput, jika ucapan selamat tinggal siap terlontar. Dan pada titik itu, segala perjuangan berhenti.

Dalam semua hubungan, kita bisa saja menemukan 1001 alasan yang kita anggap sebab sebuah perpisahan. Namun saya percaya, penyebab yang paling mendasar selalu sederhana dan alami: memang sudah waktunya. Hidup punya masa kadaluarsa, hubungan pun sama. Jika tidak, semua orang tidak akan pernah mati dan semua orang tidak pernah ganti pacar dari pacar pertamanya. Kita bisa bilang, putusnya hubungan A karena dia selingkuh, karena bosan, karena ketemu orang lain yang lebih menarik, karena status sosial, belum jodoh, dan masih banyak lagi. Padahal intinya satu, jika memang sudah waktunya, perpisahan akan menjemput secara alamiah bagaikan ajal. Bungkus dan caranya bermacam-macam, tapi kekuatan yang menggerakkannya satu dan serupa. Tentu dalam prosesnya kita berontak, protes, menyalahkan ini-itu, dan seterusnya. Namun hanya dengan terus berproses dalam aliran kehidupan, kita baru menyadari hikmah di baliknya.




Jadi, semua faktor yang selama ini diabsahkan orang-orang sebagai penyebab perpisahan (orang ketiga, KDRT, tidak dinafkahi, dan lain-lain) menurut saya sebenarnya adalah gejala yang terlihat, bukan penyebab. Sama halnya batuk sebagai gejala penyakit flu. Batuk bukan penyebab, tapi gejala penyakit yang terlihat. Kita sendiri tidak bisa melihat virusnya, cuma merasakan akibatnya, yakni batuk atau beringus. Tapi seringkali kita tertukar memilah mana efek dan mana sebab, hanya karena efek yang terlihat lebih mudah dijelaskan. Alasan sesederhana “memang sudah waktunya” dirasa abstrak, teoritis, filosofis, dan mengada-ada.

Maret 2009 adalah momen penyadaran saya akan kelanjutan hubungan ini. Saat saya merasa bahwa hubungan ini sudah kadaluarsa. Susah sekali kalau disuruh menjelaskan: kok bisa tahu? Tapi kami sama-sama merasakan hal yang sama. Dan pada saat itulah saya memutuskan untuk belajar berpisah, saling melepaskan. Jadi, masalah intinya bukan memaafkan dan memaklumi efek apa yang terlihat, tapi menerima bahwa inilah adanya. Hubungan yang kadaluarsa. Perkembangan yang akhirnya membawa hubungan ke titik perpisahan. Dan, untuk sampai pada penerimaan ini, sulit, saya menjalani dengan berbagai macam cara, hingga akhirnya saya bisa melepaskan dengan lapang dada, dengan baik-baik, dengan pengertian, dengan kesadaran.

Memaafkan bagi saya adalah menerima. Menerima kondisi yang terjadi apa adanya. Segala penyebab mengapa sebuah kondisi tercipta, barangkali kita cuma bisa tahu sekian persennya aja. Tidak mungkin diketahui semua. Apalagi dimengerti. Sama halnya saya tidak tahu persis kenapa dulu bisa bertemu dengan dia, menjalin sebuah hubungan, dan seterusnya. Fate, atau destiny, menjadi cara manusia menjelaskan apa yang tidak bisa dijelaskan. Perpisahan pun sama hukumnya. Meski sepertinya keputusan berpisah ada “di tangan kita”, tapi ada sesuatu kekuatan yang tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan.
Lantas, bagaimana dengan perasaan ini kepadanya? Apakah kesedihan dan kebahagiaannya juga tidak saya perhitungkan? Analogi yang barangkali bisa membantu menggambarkan ini adalah petunjuk emergensi di pesawat. Dulu, saya sering bingung, kenapa orang tua disuruh memakai masker oksigen duluan sebelum anaknya. Sekarang saya mengerti, dan setidaknya ini adalah kebenaran bagi saya: kita tidak bisa membahagiakan orang lain sebelum kita sendiri bahagia. Satu buku yang sangat terkenal, “Celestine’s Prophecy”, juga bicara soal ini. Kita harus “penuh” dulu sebelum bisa “memenuhi” orang lain. Cinta bukanlah dependensi, melainkan keutuhan yang dibagi.

Kita berbuat sesuatu karena itulah yang kita anggap benar bagi diri kita sendiri. Dan kebenaran ini sangatlah relatif. Jika ada 6,5 miliar manusia di dunia, maka ada 6,5 miliar kebenaran dan ukuran kebahagiaan. Norma berubah, agama berubah, sains berubah, segalanya berubah dan tidak pernah sama. Kebahagiaan pun sesuatu yang hidup, berubah, dan tidak statis.

Membahagiakan pasangan saya, juga menjadi keinginan saya. Tapi saya pun tidak bisa selamanya mencegah dia dari ketidakbahagiaan. Karena apa? Seseorang berbahagia karena dirinya sendiri. Kebahagiaan bukan mekanisme eksternal, tapi internal. Ilustrasinya begini, dua orang sama-sama dikasih apel, yang satu bahagia karena memang suka apel, yang lain kecewa karena sukanya durian. Berarti bukan apelnya yang bisa bikin bahagia, tapi reaksi hati seseoranglah yang menentukan. Yang tidak suka apel baru bisa bahagia kalau akhirnya dia bisa menerima bahwa yang diberikan kepadanya adalah apel dan bukan durian—sebagaimana yang dia inginkan. Alias menerima kenyataan. Saya tidak bisa membuat siapa pun berbahagia, sekalipun saya ingin berpikir demikian. Kenyatannya, hanya dirinya sendirilah yang bisa. Saya hanya bisa menolong dan memberikan apa yang orang tersebut butuhkan, SEJAUH yang saya bisa. Namun saya tidak memegang kendali apa pun atas kebahagiaannya.

Lalu, hendak ke mana setelah ini? Saya tidak tahu. Apakah akan ada penyesalan? Saya tidak tahu. Apa pun yang menanti saya sesudah ini, itulah konsekuensi, tanggung jawab, dan karma saya. Pahit atau manis. Tak seorang pun yang tahu. Namun inilah pelajaran hidup yang menjadi jatah saya, dan saya menerimanya dengan senang hati. Saya tidak berdagang dengan Tuhan. Setiap detik dalam hidup adalah hadiah. Setiap momen adalah perkembangan baru. Bagi saya, itu sudah cukup. Bagi saya, itulah bentuk kesadaran.

Abstrak? Filosofis? Teoritis? Utopis? Saya sangat mengerti mengapa label-label itu muncul. Kebenaran kadang memang sukar dipahami. Hanya bisa dirasakan. Sama gagapnya kita berusaha mendefinisikan Cinta. Pada akhirnya, kita cuma bisa merasakan akibatnya.


Heri...

Readmore »»

Rabu, 11 Maret 2009

Kenangan Terindah- for my 2nd heart...

You’re a walk to remember
You’re always in my heart as a nicest person ever…
You never hurt me…
I know you in a unique and good way,
then I want to go as the same as our first met…
gently and warm…
Seriously, you’re a big different, from my suck love life before…
You’re a greatest change ever for me,
frankly say…
I realize that; deeply say it from my heart…
Last and not least, if you want to hate me, go on… But please don’t erase me from your life…
Still want to be a part of your heart…

Biasanya awal adalah segalanya, but the end is important either. Rasakanlah, saat berada di akhir, sederet kenangan akan menyerbu pikiran dan hati… Benar, itu yang aku rasa, pikir, dan tentu kenang. Lalu semua kenangan bagai ingin kutarik dan kususun kembali agar aku tahu apa yang telah lalu dan kuperbuat. Tapi entah lari kemana semua itu, mungkin pergi ke khayangan waktu yang jauh telah lalu. Bagai ingin terus kuingat, aku terus memburu kenangan , sedetik kemudian aku pun jadi diam. Ah, cepatnya… Padahal hitungannya belum ada berlembar-lembar… Bagai masih ada di belakangku, tepat, tapi begitu sulit untuk dirangkai, begitu payah untuk disusun runut… Ah , helaan napasku belum banyak membantu memanggil kembali semua kenangan itu.
Tinggalah oh kalian semua kenangan, dalam damai pikiran serta hatiku…



Pastikan kamu akan baik-baik saja ya, tolong… Memang mudah untuk meminta itu padahal itu berat bagimu… Percayalah, untukku juga… Tapi hanya itu yang bisa membuatku tenang di sini, karena aku sudah cukup merana setelah kamu pergi... Ya ok,kamu juga, kita merana dan sedih… Tapi mungkin ini titik balik yang baik yang Tuhan beri, sampai nanti kita akan kembali berdua meniti pelangi… Suatu hari… Percayalah…

-gendis, 110309;21:30
dans ma chambre...

Readmore »»